‘Umdatul ahkam ~ hadits 2

Kitab Umdatul ‘ahkam

Hadist Kedua

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – : « لا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاةَ أَحَدِكُمْ إذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ »

“Dari Abu Hurairah, dia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah tidak menerima shalat salah seorang diantara kalian jika berhadas hingga ia berwudhu.” [HR. Al Bukhari dan Muslim]

——————————————————————-

Faedah yang terdapat dalam Hadits:

Wudhu merupakan syarat sahnya sholat.
Berkata Al Imam An Nawawy rahimahullah: “Hadits ini merupakan dalil yang menunjukan kewajiban berwudhu ketika akan menunaikan sholat. Umat Islam telah sepakat bahwa berwudhu merupakan syarat sahnya shalat.”

Beliau juga berkata: “Umat Islam juga telah sepakat tentang keharaman shalat tanpa berwudhu atau bertayammum jika tidak ada air. Baik itu shalat fardhu (wajib) maupun shalat sunnah.”

Shalat seseorang dianggap batal apabila dia berhadast, baik hadatsnya karena sengaja maupun tidak sengaja.
Barangsiapa dengan sengaja shalat tanpa berwudhu, sedangkan dia dia tidak memiliki udzur maka dia berdosa.

Masalah: Apakah dia dikafirkan (keluar dari islam) disebabkan dengan perbuatannya itu?

Jumhur ulama berpendapat bahwa orang tersebut tidak sampai dikafirkan dengan perbuatannya tersebut, namun sungguh dia telah melakukan perbuatan dosa yang sangat besar. Sebagian ulama mengaatakan dia kafir karena telah bermain-main dalam ibadah, ini adalah pendapat Abu Hanifah sebagaimana yang dinisbahkan oleh An Nawawy. Pendapat yang benar adalah pendapat Jumhur.

Barangsiapa yang batal wudhunya ditengah-tengah shalatnya, maka tidak boleh baginya meneruskan shalatnya, bahkan wajib baginya keluar untuk berwudhu kembali. Jika dia tetap meneruskan shalatnya dalam keadaan telah batal wudhunya maka dia berdosa dan shalatnya tetap tidak sah.

Demikian juga kalau dia sebagai imam shalat, jika batal wudhunya, maka harus keluar dari shalatnya untuk berwudhu, kemudian salah seorang makmum yang berada dibelakang imam maju ke depan untuk menggantikan posisi imam yang sudah keluar dari shalat.
Apabila seseorang tidak mendapatkan air untuk berwudhu atau debu untuk bertayammum maka dia shalat sesuai dengan keadaannya. Allah ta’ala berfirman:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” [QS. Ath Thaghabun: 16]

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” [QS. Al Baqarah: 286]

Dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Dan apa yang kuperintahkan kepadamu, maka kerjakanlah semampu kalian.” [HR. Al Bukhari dan Muslim]

Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Al Imam An Nawawy, beliau berkata: “Ini adalah pedapat yang paling kuat pendalilannya.” Dan pendapat ini juga dipilih oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syekhuna Abdurrahman Al ‘Adeny.

Masalah: Apakah dalam sujud syukur atau tilawah dipersyaratkan padanya berwudhu?

Pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah tidak dipersyaratkan berwudhu ketika melakukan sujud syukur mapun sujud tilawah. Karena tidak ternukilkan dalam satu hadits pun bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu dulu ketika akan sujud syukur atau sujud tilawah apalagi memerintahkannya. Dua sujud ini tidak bisa dikiyaskan dengan shalat, karena dalam dua jenis sujud ini tidak dipersyaratkan harus menghadap kiblat. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, Asy Syaukany dan juga Syekhuna Abdurrahaman Al ‘Adeny.

Hal-hal yang dapat membatalkan wudhu yang telah disepakati oleh seluruh ulama adalah: keluarnya kotoran dari dubur, air kencing, air mani, madzi, wadzi, kentut, darah haid dan pingsan.
Adapun selain dari apa yang kita sebutkan diatas, seperti; keluarnya batu atau cacing baik dari qubul (kemaluan) ataupun dubur maka pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah hal itu termasuk membatalkan wudhu, Ini adalah pendapat jumhur ulama dan dipilih Syekh Al ‘Utsaimin dan Syekhuna Abdurrahaman Al ‘Adeny.
Wallohu ‘alam bishshowab.

?ditulis oleh Abu ‘Ubaidah Iqbal bin Damiri Al Jawy_06 Muharam 1435/09 Nov 2013_di darul Hadits Al Fiyusy_Harasahallah ]

Forum kis

nasehat muslimah salafiyyah

‘Umdatul ahkam ~ hadits 1

Kitab Umdatul ahkam

Hadist-1
Hadist Pertama

عَنْ أمِيرِ المُؤْمِنِينَ أبي حَفْصِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَقُولُ «إنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ» وَفِي رِوَايَةٍ: «بِالنِّيَّةِ» وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، فَهِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا، فَهِجْرَتُهُ إلَى مَا هَاجَرَ إلَيْهِ»

“Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khotthob radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:
Sesungguhnya setiap  perbuatan tergantung niatnya.Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan.
Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.” [HR. Al Bukhari dan Muslim]

—————————————————

Faedah yang terdapat dalam Hadits:

Niat merupakan syarat diterima atau tidaknya suatu amal perbuatan, dan amal ibadah tidak akan mendatangkan pahala kecuali berdasarkan niat (karena Allah ta’ala).

Alloh berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ

“Padahal mereka tidak diperintah kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” [QS. Al Bayyinah].

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا.

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Rabbnya.” [QS. Al Kahfi : 110].

Dari dua ayat diatas memberikan faedah bahwa amalan yang diterima oleh Alloh adalah amalan yang diniatkan ikhlas karena Allah dan mencocoki petunjuk atau sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Waktu pelaksanaan niat dilakukan pada awal ibadah dan tempatnya di hati. Melafadzkan niat dalam ibadah termasuk bid’ah yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam maupun para shahabatnya, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam, Ibnul Qoyyim dan juga Ibnu Rajab.

Seorang mu’min akan diberi ganjaran pahala berdasarkan kadar niatnya.

Alloh berfirman:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلَاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا (18) وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ وَسَعَى لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُورًا (19)

“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.” [QS. Al Isra: 18-19]

Semua perbuatan yang bermanfaat dan mubah jika diiringi niat karena mencari keridhoan Allah maka dia akan bernilai ibadah. Seperti makan dan minum, bila ketika akan makan atau minum, dia niatkan agar bisa kuat dalam beribadah, maka makan dan minumnya akan bernilai ibadah. Demikian juga mandi, tidur, dan berpakaian, adalah perkara yang mubah, jika dia niatkan itu semua untuk beribadah kepada Allah maka hal yang mubah tersebut bernilai ibadah disisi Allah.

Yang membedakan antara ibadah dan adat (kebiasaan/rutinitas) adalah niat. Zaid mandi dengan niat agar bisa segar dan semangat ketika sholat atau berpuasa, sedangkan Yazid mandi dengan niat sekedar menyegarkan badan saja. Amalan mereka sama, namun niat yang membedakannnya. Mandinya Zaid bernilai ibadah sedangkan mandinya Yazid tidak dinilai sebagai ibadah disisi Allah. Hamid menahan makan dan minum dengan niat untuk puasa sunnah, sedangkan Yahya menahan makan dan minum dengan niat karena dia akan melakukan operasi atau ingin diet. Sekali lagi disini, amalan mereka sama, namun niat yang membedakannya. Amalan Hamid dinilai sebagai ibadah sedangkan amalan Yahya tidak.
Wajib bagi kita untuk perhatian dengan amalan hati dan waspada dari penyakit-penyakit hati seperti riya, dengki, hasad dan yang lainnya.

Rasulullah bersabda:
إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

“Sesungguhnya Allah tidaklah melihat kepada wajah dan harta kalian, akan tetapi Allah hanyalah melihat kepada Hati dan Amalan kalian.” [HR. Muslim dari Abu Hurairoh]

Insya Allah dengan memohon pertolongan Allah ta’ala, kami akan memberikan sedikit faedah-faedah fiqhiyah dari hadits-hadits yang terdapat di dalam kitab ‘Umdatul Ahkam karya Al Hafidz Abdul Ghani Al Maqdisy rahimahullah ta’ala. Dan kami juga memohon  kepada Allah untuk diberikan keikhlasan hati, istiqomah dan kesabaran dalam menulis faedah-faedah dari kitab tersebut. Tentunya sebagaimana yang telah dimaklumi, bahwa manusia memiliki banyak kelemahan dan kekurangan, sehingga nasehat dan teguran yang bersifat membangun sangat kami harapkan. Semoga tulisan yang sederhana ini bisa memberikan manfaat untuk saudara-saudara kami. Wallohu ‘alam bishshowab.

? ditulis oleh Abu ‘Ubaidah Iqbal -04 Muharam 1435/07 Nov 2013_di darul Hadits Al Fiyusy

Forum kis

Adab bertamu

image

Assalamu ‘alaikum. Bagaimanakah adab memasuki rumah orang lain? Saya ingin mendapatkan keterangan yang jelas, syukron. Jazakallahu khoiron. (0818208***)

Jawab: Wa’alaikumussalaam warohmatullahi wabarokatuh.

Sesungguhnya hal itu telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam KitabNya dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Sunnahnya.

Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.” (QS An Nuur: 27).

Dalam ayat ini diterangkan tentang beberapa adab memasuki rumah orang lain, di antaranya:

pertama: meminta izin berikut mengucapkan salam tiga kali (dalam artian mengucapkan salam sudah termasuk di dalamnya meminta izin), bila setelah itu belum juga ada jawaban maka hendaknya kembali pulang.
Dalilnya hadits riwayat Bukhari dari Abu Sa’id Al Khudri.

Kedua: hendaknya tidak berdiri tepat di depan pintu rumah orang yang didatangi, namun berdiri di sebelah kanan atau kirinya pintu. Dalilnya hadits riwayat Abu Dawud dari Abdullah bin Bisyr.

Ketiga: bila ditanya oleh penghuni rumah “Siapa?”, tidak diperkenankan menjawab, “Saya” tetapi harus menyebutkan namanya.
Dalilnya saat Jabir bin Abdillah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian ditanya, “Siapa?”, beliau menjawab, “Saya.” lalu Rasulullah berkata, “Saya! Saya!” seolah beliau membencinya. (HR Bukhari dari Jabir).

Keempat: bila rumah yang didatangi tidak ada penghuni laki-lakinya (suaminya), yang ada hanya perempuan (istrinya) maka tidak boleh meminta izin untuk masuk.
Berkata Ibnu Katsir, “Berkata Ibnu Juraij, aku bertanya kepada Atho`, bolehkah seorang laki-laki minta izin masuk rumah kepada istri (yang suaminya sedang keluar rumah)? Beliau menjawab: Tidak.”

Kelima: bila si penghuni rumah menyuruh untuk pulang (sebelum diizinkan masuk) maka wajib untuk pulang.
Dalilnya firman Allah,
“Dan jika dikatakan kepadamu: Kembali (saja)lah, maka hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS An Nuur: 28).

Wal ‘ilmu ‘indallah.

Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Hamzah Al Atsary.
SUMBER :  Buletin Al Wala’ Wal Bara’ Edisi ke-43 Tahun ke-2 / 17 September 2004 M / 02 Sya’ban 1425 H
http://adhwaus-salaf.or.id/2010/04/28/adab-bertamu/